Friday, July 15, 2011

Jerit pilu di balik awan

Kabut putih pekat menggelayut di atas perbukitan terjal menutupi deretan rumah rumah yang tertata apik nan asri. Di setiap atapnya tampak mengepul asap putih keluar dari cerobong-cerobongnya.

Deras air pegunungan mengalir indah bagai permata, memantulkan sinar mentari yang terus mengintip di balik kabut. Suara gemericiknya membuat sensasi kedamaian di setiap hati orang yang melewatinya.

Panorama seperti ini jauh melebihi imajinasi masa kecilku ketika melihat iklan rokok terkenal dari Amerika di televisi. Bahkan di antara film film sekelas Holywood pun belum pernah kelihat pemandangan indah yang ada di depan mataku saat ini.

Menjulang di atas bukit nan jauh di atas sana, kupandangi kubah gereja tua yang hanya menampakan salib Kristus yang berdiri gagah di atas menaranya.

Ayunan lonceng gereja-gereja yang saling berdekatan sedemikian rupa bersaut-sautan melantunkan lagu-lagu natal begitu indahnya, menyatu dengan harmoni alam hingga mampu menghangatkan dingin dunia sekitarnya.

Hawa dingin berhembus begitu menggigit dan membeku seiring dengan rinai rintik hujan yang perlahan-lahan membasahi wajahku yang mulai mati rasa. Anganku melayang jauh... beginilah kiranya tanggapan dunia menyambut lahirnya Kristus Sang Raja Damai. Dingin, sepi tak berujung... Padahal sudah sejak jaman dahulu para nabi berseru: "Hai dunia lunakkanlah hatimu, hangatkan jiwamu menyambut Kristus Penyelamatmu". Tetapi dunia tetap asyik dengan segala kesibukannya berkubang dalam kegelapan dosa.

Itulah sedikit gambaran tentang indahnya Paroki Santa Maria Terangkat ke Surga-Pedemonte-Genova Italia utara, tempat aku berasistensi di natal tahun ini.

Masyarakat di desa ini masih sangat sederhana dan hangat menyambut kedatanganku dari kota Roma (7 jam dng kereta jaraknya). Di desa ini aku tidak tinggal di pastoran tetapi sebuah apartement tua nan sederhana milik paroki yang hanya berisi 2 kamar, 1 dapur dan kamar mandi (Jangan membayangkan apartement seperti di Jakarta, karena akan kecewa).

Tugasku di paroki ini adalah memberi pengakuan dosa dan memimpin Perayaan Ekaristi di kapel kecil bernama San Rocco. Pastor kepala di paroki ini bernama Don Michele. Dia bertugas memimpin perayaan Ekaristi di Gereja pusat yang berjarak tidak begitu jauh. Don Michele adalah seorang pastor tua berumur 72 tahun dan sudah bertugas seorang diri di paroki ini selama 28 tahun. Wawwww sungguh kurun waktu yang sangat lama. Mengapa begitu lama? Suatu pertanyaan dengan jawaban ironis. Tidak lain karena tidak ada lagi tenaga dari imam imam lokal.

Maka jangan heran bila seorang pastor kecil yang tak meyakinkan sepertiku bisa terdampar di tempat terpencil seperti ini. Seorang pastor kecil yang berasal dari negara "antah berantah" (baca: Indonesia), yang mayoritas beragama Islam, bisa melayani umat di negara yang semuanya beragama Katolik. Itulah titik ironinya.

Pertemuanku dengan orang-orang tua kesepian mewarnai pengalamanku di paroki ini. Masih bisa kuingat bagaimana wajah Marisa, seorang wanita tua, pemilik rumah makan yang sempat kukunjungi beberapa kali, meneteskan air mata kesedihan ketika aku berpamitan dari restoran kecil yang sudah dikelolanya sejak 40 tahun yang lalu. Kulihat ada titik air mata di ujung kelopak matanya ketika dengan lirih dia mengucapkan: "Selamat Natal Don Josepe, berarti besok kita tidak bertemu lagi?"

Aku pun berpikir, kalau aku pergi, siapa nanti yang akan mengajak ngobrol wanita tua ini yang kini tinggal seorang diri sepeninggal suaminya beberapa tahun yang lalu.

Marisa selalu menemaniku saat makan dengan obrolan-obrolan ringan. Senyum ramahnya selalu muncul dari antara kerut kerut wajahnya yang mulai layu termakan usia.

Kesan mendalam dengan nasib pilu pada lansia seperti yang dialami Marisa memberiku inspirasi untuk kotbah di Hari Raya Keluarga Kudus. Dalam kotbah aku menekankan betapa pentingnya menjaga keutuhan keluarga, termasuk bagaimana anak anak harus menghormati orang tua mereka dan bagaimana orang tua jangan sampai menyakiti hati anak-anak mereka.

Menghormati orang tua ketika mereka punya banyak materi adalah mudah. Tetapi saat mereka tua, sakit sakitan dan hanya bergantung pada orang lain, masih mampukah anak anak menghormati orang tua mereka dengan sepenuh hati? Menghormati orang tua adalah salah satu tuntutan Allah dalam 10 perintahNya.

Kotbahku kali ini disambut dengan senyuman dan anggukan para lansia yang memenuhi bangku Gereja pagi itu. Seolah kotbahku ini mewakili jeritan hati mereka yang terdalam selama bertahun tahun lamanya.


Lagi-lagi Tuhan Yesus terlalu baik untukku, seorang pastor kecil yang tak meyakinkan ini. Dia beri aku semangat baru dalam melayani. Mengajarkanku untuk melayani dengan hati yang penuh empati dan peduli dengan mereka yang kurang beruntung dalam hidupnya.
Tuhan Yesusku, terima kasih sekali lagi, Kau lahir secara baru dalam hatiku.....

Selamat Natal sahabat-sahabatku, damai dan suka citanya senantiasa dekat di hatimu.


Saat Kusadari dia telah pergi selamanya

Alunan lagu Malam Kudus yang begitu indah menemaniku duduk termenung di depan meja belajarku. Lagu ini menggambarkan terpenuhinya kerinduan hati manusia yang mendamba kehadiran penyelamatnya. Malam yang kudus, sunyi… tenang…. dan sepi. Ketika dunia sedang terlelap dalam jutaan  mimpi dan harapannya, Sang Maha Suci turun ke dunia. Sungguh malam yang penuh keagungan, hingga seluruh bala tentara surgawi ikut turun menyambut lahirnya Putra Allah di tengah dunia.

Dia datang… untukku…, untukmu… dan untuk dunia. Di malam ini juga, bersama derik jangkrik dan kerlib  bintang-bintang malam di angkasa yang tiada berawan, aku datang kepadaMu ya Tuhan Penyelamatku.

Tanpa sadar jari jemariku berlarian di atas keyboard laptopku untuk membuka foto foto yang ada di dalam Facebookku. Waw….sungguh indah luar biasa. Sungguh indah rencana Tuhan untukku. KasihNya sungguh di luar batas ambang harapan dan doa masa kanak-kanakku.  Keindahan itu tidak kulihat karena aku bisa mengelilingi berbagai tempat di hampir sebagian belahan dunia ini, tetapi  keindahan itu terletak di dalam perasaan syukurku yang begitu mendalam, betapa kasihNya sungguh nyata dalam hidupku dari hari ke hari. Dia menuntunku di dalam setiap langkah hidupku terlebih lagi di dalam setiap kehampaan, keputusasaan dan kesedihanku, Dia merubahnya menjadi suka cita yang melimpah dan nyata.

Kemarin ada seorang teman sempat protes terhadapku, katanya : “Romo sih hidupnya enak, statusnya  dan notesnya di FB melulu  Yesus sungguh luar bisa bagiku, Romo tidak pernah ada kesandungnya.” Mendengar itu, aku tersenyum dan bertanya dalam hati…. Masa iya  aku tidak pernah tersandung? Lalu kukatakan kepadanya, “tesandung dan jatuh hampir menjadi santapanku setiap hari…. Aku pernah tersandung dan terjatuh, bahkan acap kali. Rasanya sakit, perih, sedih dan kecewa yang teramat dalam. Tinggal bagaimana kita mau bangkit kembali dan melihat dalam peristiwa jatuh itu, cara Tuhan mendidik kita untuk menjadi lebih kuat lagi.”

Dari foto foto itu bisa kulihat kembali jejak jejak hidupku di tahun tahun yang lalu. Ada suka cita, tawa gembira, kecewa dan air mata. Ada pertemuan dengan orang-orang baru dan ada juga perpisahan yang membuat hati tak kuasa menerima. Dengan teliti kuperhatikan  foto yang satu ke foto yang lainnya. Kadang aku tersenyum ketika melihat  perubahan fisikku, yang tidak bertambah tinggi tetapi semakin membulat saja. Kulihat juga perubahan fisik orang-orang di sekelilingku, keluargaku, para sahabat dan kenalan. Ada yang semakin berambah besar dan bertambah tua dengan rambut putihnya, seiring dengan bertambahnya usia.

Tetesan air mataku mulai runtuh ketika kulihat foto keluargaku dari tahun ke tahun. Ada yang hilang sementara, ada yang hilang untuk pergi selamanya dan tak akan terganti. Entah mengapa, jauh di dalam lubuk hatiku, ternyata masih tersimpan kesedihan yang tak berujung. Di balik senyumku, terbungkus  serpihan luka. Aku pun tidak tahu kapan rasa itu akan hilang. Aku lihat pula kehilangan itu mulai terganti dengan tokoh-tokoh baru yang muncul, ada kelahiran baru dan kehadiran sosok sosok baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Yaaaa that’s a life of human being…. Itulah hidup manusia di dunia, ada yang datang dan ada yang pergi. Silih berganti drama kehidupan manusia berganti tokohnya seperti dalam pewayangan. Saat seseorang masanya habis, hilang lenyaplah dia dari panggung pertunjukan.

Namun batinku bergolak untuk berkata tidak untuk fakta itu, kurasakan orang-orang yang hilang dari hidupku, ternyata tidaklah lenyap begitu saja. Ada kesan yang begitu mendalam, ada pengalaman hidup yang terbagikan,  ada jiwa yang rindu dan energi yang tetap tinggal dalam hatiku yang membuat aku tersadar mereka selalu ada di sisiku dan ikhlas melepas mereka.

Dalam titik nadir tragedi kehidupan inilah Natal memperoleh maknanya secara lebih dalam. Dia, Allah yang memiliki segala kuasa, justru rela meninggalkan apa yang Ia miliki untuk menyelamatkan dunia. Allah yang Maha Kuasa kini hadir dalam seorang bayi mungil dan lemah tak berdaya. Ia menjadi manusia dengan segala suka cita, kegembiraan serta kerapuhannya. Dia merasakan sakit, kesedihan, kekecewaan, kehilangan, bahkan kematian yang menjadi malaikat pencabut nyawa bagi hidup manusia. Dia membuka jalan bagi kebuntuan hidup manusia, dengan membawa kabar suka cita tentang Kerajaan di atas awan, di mana segala penderitaan manusia karena berbuat baik dan benar, akan memperoleh balasan yang setimpal.

Sahabat-sahabatku terkasih, entah apa yang engkau rasakan saat ini, entah apa yang terjadi dalam hidupmu saat-saat ini,  hayatilah makna Natal ini dalam hidupmu. Allah yang begitu mencintai hidup manusia, sudah pasti mencintai dirimu apa adanya. Dia tahu pasang surut hidupmu, Dia tahu kekurangan dan kekuatanmu karena Dialah yang membentukmu dalam rahim ibumu. Berikanlah cinta yang tulus kepada setiap orang di sekitarmu meski tiada balasan cinta yang kau dapatkan. Karena hidup pada dasarnya adalah memberikan apa yang telah kita terima dari atas dengan cuma-cuma.

Sekali lagi selamat Natal dan Tahun Baru, untuk sahabat-sahabat yang aku sayangi. Lihatlah kembali jalinan kasih Tuhan dalam hidupmu sepanjang tahun ini, rajutlah itu semua dalam suatu untaian syukur yang  kelak bersama akan kita bawa dalam doa dan harapan di penghujung tahun yang sebentar lagi akan kita lewati. Bersuka citalah senantiasa, sebab Tuhan selalu menyertai setiap langkahmu. Hapus segala dukamu dengan cintaNya yang abadi.

Monday, July 11, 2011

Kutemukan Jawabannya

Terima kasih Tuhan atas kasihMu, dalam renunganku kutemukan jawabannya.
Aku baru saja pulang dari rumah sakit pusat yang mengobati KANKER untuk daerah Torino dan sekitarnya. Sambil membawa hosti setelah aku memimpin Perayaan Ekaristi di sana (yang hanya dihadiri oleh segelintir umat).
Ketika kamar pertama ku masuki, sambil sebelumnya aku berujar," bisakah aku masuk untuk menyapamu?"
Kalau si sakit bilang iya, baru aku masuk. Sore ini tidak sedikit yang berkata : TIDAKKKK....
Kulihat seorang ibu, tanpa rambut di kepalanya, sudah menjalani kemo untuk kesekian kalinya. Dengan mata nanar dia menyapaku. Aku perkenalkan diriku, Saya Don Josepe, pastor dari Indonesia, senang berjumpa dengan anda..... Ada sedikit gurat senyum di matanya.
Ketika aku tanya, apakah anda mau menerima komuni kudus, dia menganggukan kepalanya. Lalu kami berdoa sebentar.... dan dia menyambut tubuh Kristus. setelah doa sebentar... dia pun tertidur...
aku dengar dari seorang perawat bahwa kesembuhannya sangatlah lambat..... stagnan..... tidak ada perkembangan dan begitu begitu saja....
Kamar kedua ku masuki, ketika salamku kuucapkan... sama seperti di atas.... ibu itu menyambutku dengan dingin.... menyalamiku seadanya. Ketika kutawari komuni kudus, dia langsung dengan cepat berkata : NO..... jawaban singkat, padat, dan tidak jelas.... yang membuatku tersentak.
Lalu aku hanya menyapanya dan berkata : Sampai jumpa. lalu diapun kembali tertidur....
Perawat mengatakan : kesembuhannya makin hari semakin merosot... tidak tidak mau makan, bahkan tidak mau bicara... sehari hari nya mengeluh dan mengeluh.....
Kamar kesekian kumasuki setelah beberapa kali mengalami PENERIMAAN DAN PENOLAKAN.... ku lihat seorang gadis muda.... kepalanya gundul seperti lainnya... kalau tidak ada infus dan obat-obatan di mejanya aku tidak akan mengira bahwa dia sakit kanker yang cukup parah.
Senyum cerianya menyambutku sebelum aku mengatakan bahwa aku seorang imam dari indonesia. Dia menyalamiku dengan semangat dan di matanya ada semangat hidup yang membara....
Dia melihatku membawa pixis (tempat hosti), langsung dia berkata : bolehkah aku menyambut komuni kudus. Aku terhentak kaget. Dia berdoa khusuk sekali, kulihat rosario di tangannya. Mungkin ketika aku datang dia sedang berdoa rosario....
Dia sangat berterima kasih atas kunjunganku, senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya yang pucat dan ada selang yang menjulur sampai lehernya.
Perawat mengatakan : semakin hari dia semakin membaik keadaannya , dibandingkan pertama kali dia datang untuk kemo....
Dari 3 pasien kanker kronis yang aku kunjungi, aku belajar sesuatu ketika menghadapi pertanyaan2 yang berputar-putar di kepalaku sejak tadi siang......
SPERANZA... HARAPAN... HARAPAN membuat seseorang menjadi lebih hidup. Harapan membuat seseorang terlepas dari segala hal yang membelenggunya, apapun itu....
seseorang yang berhenti berharap, atau takut untuk berharap, sama seperti badannya masih ada di dunia tetapi jiwanya mati.
Termasuk ketika menyikapi masa lalu yang gelap sekalipun, terhadap dosa TERBERAT yang pernah dilakukan. Kunci untuk mengalahkan semua itu adalah seseorang mempunyai HARAPAN, atau seseorang memberi HARAPAN kepada orang yang mengalami kegelapan dalam hidupnya, bahwa dia dipercaya bisa lebih baik dari sebelumnya.
Dengan harapan yang kokoh, seseorang belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, minimal dia berjanji pada diri nya sendiri untuk hidup lebih baik.
Bukankah KASIH, IMAN DAN HARAPAN menjadi 3 simpul yang membuat manusia menjadi lebih berarti di mata Allah. Yesus Kristus hadir di dunia, hidup di tengah manusia untuk menawarkan suatu harapan yang tidak dapat ditawarkan oleh dunia.... yaitu HARAPAN AKAN KESELAMATAN, AKAN HIDUP YANG LEBIH BERNILAI yaitu HIDUP UNTUK ALLAH DAN SESAMA........
Jangan berhenti untuk BERHARAP.....

Misteri Kamar 418, Kulihat Wajah Tuhan di dalamnya

Sabtu Sore itu seperti biasa pukul 3.30 bel pastoran berdering lembut dan singkat, tanda aku sudah dijemput oleh seorang ibu volunteer (bekerja tanpa gaji/honor) dan suster Maria Grazia untuk mempersembahkan Perayaan Ekaristi di Rumah sakit pusat untuk pengobatan kanker di TORINO dan mengunjungi pasien-pasien hebat di sana (Suster Agnesia yang biasa menemaniku sudah berangkat liburan di Pulau Sardegna, tanah kelahirannya).

Sinar matahari yang panas menyengat saat aku membuka pintu pastoran sedikit menyuntikan sinyal malas ke dalam rongga-rongga otakku, tetapi hatiku berkata : “Ayo jangan kalah dengan malasmu, seorang pekerja pembersih jalan telah terjemur 8 jam sehari, rasa panasmu belumlah apa-apa dibandingan rasa panas yang mereka rasakan.”

Mobil FIAT berwarna biru 2 pintu telah siap mengantarku (istilah 2 pintu jangan disamakan dengan mobil-mobil canggih serta super mahal seperti yang ada di Indonesia. Mobil 2 pintu artinya : mobil kecil tua tahun 80-an yang hanya berkapasitas 4 orang. Cat biru mudanya sudah mulai banyak yang terlepas di sana-sini, asesoris interior mobil hanya setir dan tape yang mungkin sudah lama sekali tidak dapat lagi memutar lagu-lagu merdu jaman Diana Ross. AC….??? Angin cepoi-cepoi, membuat setiap orang di dalamnya tampak seperti bolu gulung dengan selai strawberry di dalam lekuk-lekuk 360 derajatnya yang sedang dipanggang di atas oven berapi sedang.


Yang membuat aku kagum adalah sang supir. Maria Lena namanya, berumur 50-an seorang pengajar honorer di Taman kanak-kanak. Dia tidak menikah, cukup puas dengan 11 kucing peliharaan di rumahnya. Bulu-bulu kucing dan aroma …… kucing menambah parfum bunga gladiol kering yang ada di dalam mobil itu. Maria Lena menjadi seorang volunteer sejak masa mudanya. Dia baktikan hidupnya untuk orang-orang sakit dengan mengunjungi mereka. Di dalam diri orang-orang yang menderita sakit , dia menemukan semangat dan tujuan hidupnya, HIDUP UNTUK SESAMA.... Sungguh wanita yang berhati mulia.

Di sepanjang jalan kulihat ladang-ladang jagung mulai ranum bulir-bulirnya, musim panen hampir tiba. Kulihat perempuan-perempuan imigran Afrika dan Rumania sedang berdiri di pinggir jalan dengan latar belakang pohon-pohon randu nan lebat. Tak jarang daun-daunnya bergoyang sendiri tanpa ada semilir angin yang menggerakkannya. Apa yang mereka lakukan? Mereka memegang payung berwarna warni, pakaian super mini dan riasan mencolok di wajah mereka. Oh my God ternyata mereka PS... ups.. di tengah panas terik 40 C, jam setengah empat sore?

Tapi pikiranku saat itui sedang tidak mau diganggu oleh eksistensi mereka di desa ini. Hati dan pikiranku sedang terpusat dan terarah pada kata-kata apa yang aku akan ucapkan saat bertemu dengan pasien-pasien di rumah sakit.

Sore itu entah malaikat apa yang mendampingiku, sebab semua pasien menerima kunjungan kami dengan gembira. Semua pasien meminta komuni kudus, tanpa ditawari terlebih dahulu. Kegembiraan hatiku jauh melebihi mbok-mbok penjual tempe di pasar yang semua tempe dagangannya diborong habis pada pukul 8 pagi. Tak sedikit dari pasien-pasien senior di RS ini yang langsung menyapaku : Don Josepe, Indonesiano.... (waw... what is this??? Aku sudah mulai dikenal oleh mereka, thanks God). Suster yang menemaniku pun terheran-heran, mengapa hampir semua pasien bersedia menerima komuni (soalnya waktu minggu pertama kunjungan kami dari 15 pasien hanya 2 yang mau menerima komuni). Terima kasih Tuhan untuk kemurahanMu, doa dalam relung hatiku yang terdalam.

Tiba saatnya aku masuk ke kamar 418, dari kaca pintu kulihat pasangan suami istri sedang berdoa di dalamnya. Keduanya menggunakan masker yang menutupi mulut dan hidung mereka. Maria Lena dan Suster Maria Grazia melihatku aneh, “Don.... apakah kamu mau masuk juga”, tanya mereka.... sebab di depan pintu tertulis : KAMAR INI TERISOLASI. Ketika aku berpikir 1 detik, pada detik ke-2, laki-laki muda bermasker melambaikan tangan kepadaku, memintaku untuk masuk. Aku pun menggunakan masker yang sama dan pakaian khusus isolasi yang tersedia di pintu masuk. (aku sudah mirip dokter... cita-citaku sewaktu aku SD dulu).


Kulihat lak-laki muda itu begitu pucat dan tak ada sehelai pun rambut di kepalanya. Dia berkata terbata-bata tak jelas dari balik maskernya : PASTOR, MAUKAH PASTOR MENDOAKAN SAYA. Lalu kuulurkan tanganku di atas kepalanya, lalu aku berdoa dengan segenap hatiku, seperti yang biasa aku lakukan kepada pasien-pasien lain.

Setelah aku selesai berdoa dan menumpangkan tanganku di atas kepalanya, dia bertanya kepadaku : PASTOR, ANDA MASIH BEGITU MUDA, MENGAPA ANDA BERANI MENYENTUH SAYA?” Akupun terkejut dengan kata-katanya. Jawabku : “Sudah memang tugasku sebagai pastor bertindak demikian”.

Dia pun berkisah :” Perkenalkan nama saya Ivan, ini istri saya Laura,kami baru menikah 10 tahun, dan tahun ketiga pernikahan kami, saya divonis kanker oleh dokter. Pastor, baru Anda, seorang pendoa yang berani menyentuh saya."

Dia bercerita : kanker lidah dan mulut sudah merusak lidah dan bibirnya bahkan setengah dari wajahnya. Dengan alasan demikian dia menggunakan masker. Padahal kalau aku boleh jujur, aku menyentuhnya karena kebiasaan ku memang begitu kepada setiap pasien dan juga terlebih lagi aku tidak tahu keadaannya sebelumnya, mungkin kalau aku tahu sebelumnya aku akan berpikir 10 kali.

Saat pikiran nakal itu lewat di benakku, dia melanjutkan ceritanya : DALAM SENTUHAN TANGAN ANDA KURASAKAN TANGAN TUHAN YANG MENJAMAH SAYA. RASANYA BEGITU DASYAT SAMPAI JAUH KE DALAM HATIKU. BAGAI AIR SURGA YANG MENYIRAMI PADANG GURUN GERSANG. TERIMA KASIH PASTOR. AKU SUNGGUH MENGHARGAINYA.

Dia pun mulai menangis bahagia. Saat itu, tanpa berpikir panjang kuletakan lagi tanganku ke atas kepalanya, kali ini dengan kesadaran dan keikhlasan penuh kuhayati bagaimana Tuhan Yesus, Ibu Theresa dari Kalkuta, Santo Vincent de Paul telah memberi contoh tentang KETULUSAN HATI yang tiada taranya. Tindakan kecilku ini tidaklah bisa dibandingan dengan karya besar mereka. Sungguh bukan hanya Ivan yang saat itu menerima rahmat, tetapi lebih-lebih aku juga, seorang pastor kecil yang lemah ini boleh mengecap rahmat yang luar biasa ini.

Dalam doa aku berseru : TERIMA KASIH TUHAN KARENA AKU BOLEH MENJADI SEORANG PASTOR, TANGANKU YANG KOTOR INI DAN MULUTKU YANG HINA INI TELAH KAU PAKAI SEBAGAI PERPANJANGAN KASIHMU SENDIRI BAGI MEREKA YANG MENDAMBANYA. (tetes demi tetes air mata jatuh dibangku Gereja yang saat itu kosong...kesejukan tiada tara... rahmat yang mengagumkan diawal ulang tahun imamatku yang ketiga.......terima kasih Tuhan..... sambil kusenandungkan lagu ini :

KUATKANLAH HATIMU, LEWATI SETIAP PERSOALAN
TUHAN YESUS AKAN MENOPANGMU
JANGAN BERHENTI HARAP PADANYA
TUHAN PASTI SANGGUP, TANGANNYA TAKKAN BERHENTI TUK MENOPANGMU
TUHAN PASTI SANGGUP, PERCAYALAH... DIA TAK TINGGALKANMU

Haru Biru Natal di Kota Abadi

Angin dingin bulan Desember berhembus dengan lembutnya menerpa wajahku yang tampak sudah hampir membeku kedinginan. Pagi-pagi buta aku sudah berdiri menggigil di halte bus yang terletak di depan asramaku untuk menunggu bus yang akan mengantarku ke stasiun kereta api di pusat kota Roma. Meski dinginnya menusuk tulang, tapi mataku dihibur oleh hiasan-hiasan indah bertema Natal yang tersusun rapi di sepanjang jalan. Lagu-lagu natal yang diputar di toko-toko juga kerap sayup-sayup terdengar dengan riangnya.

Setelah menunggu sekitar 15 menit akhirnya bis yang aku kehendaki datang juga. Di dalam bus keadaanya mulai sedikit hangat. Jalan-jalan masih lengang di pagi hari, terlebih karena hari ini kota Roma sudah memasuki musim liburan, 3 hari sebelum Natal. Bis yang aku tumpangi melewati Basilika Santo Petrus yang selalu ramai disinggahi oleh para turis dari berbagai pelosok dunia bahkan di pagi buta seperti saat ini. Basilika yang menjulang tinggi dan kokoh kini semakin cantik dengan pohon cemara raksasa dan Gua Natal berukuran raksasa yang dipamerkan di pelatarannya. Tampak Bunda Maria, Bapa Yosep, palungan dan tidak lupa juga para gembala dengan hewan ternak mereka, seolah sungguh hidup, karena patung tersebut berukuran seperti manusia pada umumnya. Setiap tahun pakaian mereka diganti-ganti dengan pakaian tradisional dari negara tertentu yang dipilih. Batinku berbisik : Natal... oh natal yang indah.... tapi jauh di dalam lubuk hatiku aku masa ada yang hilang, entah apa itu...aku tak tahu jawabnya.

Sebagaimana kebiasaan para pastor yang belajar di kota abadi Roma, setiap Natal dan Paskah , kami pergi ke paroki-paroki di luar kota Roma untuk berasistensi, Natal tahun ini aku bersama 7 teman Indonesia lainnya diminta oleh salah satu dekenat di kota Pisa (Italia Tengah) Kota Pisa terkenal dengan menara miringnya yang dibangun berabad-abad yang lalu. Posisinya yang ganjil justru menjadi daya tarik setiap orang yang datang ke kota Pisa. Jarak kota Roma dan Pisa bisa ditempuh dengan 5 jam naik kereta api kelas ekonomi.

Di dalam kereta api yang mengantar kami, kami melatih ritus-ritus liturgi untuk Perayaan Ekaristi pada malam Natal dan Hari Natal dalam bahasa Italia. Juga tidak ketinggalan menghafalkan kotbah dan kalimat absolusi untuk Sakramen Pengakuan dosa yang juga dalam bahasa Italia. Maklum karena ini adalah pengalaman pertama bagi para pastor yang baru datang di Italia.

Setelah 5 jam perjalanan, kami akhirnya sampai di stasiun Pisa-Centrale. Dari sana kami sudah ditunggu oleh beberapa pegawai paroki tempat kami akan ditempatkan di dekenat tersebut. Kami disebar di 8 paroki yang jaraknya cukup berdekatan, tetapi ada juga teman kami yang ditempatkan di paroki yang berada jauh di atas bukit, di mana pemandangan putihnya salju sudah menunggu mereka.

Aku dijemput oleh seorang bapak tengah baya, Giovanni namanya. Orang yang ramah dan suka sekali humor. Dia berkata bahwa aku sudah ditunggu makan siang oleh Don Ettore (baca. Romo Ettore) berserta kedua orang tuanya. “Orang tuanya???”, aku bertanya dalam hati.
Paroki tempat ku ditugaskan terletak di sebuah desa kecil di pinggir sungai. Jaraknya 20 menit dari stasiun pusat kota Pisa kalau ditempuh dengan mobil pribadi. Mobil Giovvani berhenti di pinggir jalan yang cukup besar. Kulihat Gereja kecil sederhana yang terletak di pelataran balai kota. Kecil, sederhana namun sangat indah. Suasana pedesaan sangat terasa di paroki ini. Rumah-rumah tertata rapi, kios-kios kecil yang menjual perlengkapan rumah tangga mengisi ruang kosong di pelataran Gereja ini.

Giovvani menuntunku ke dapur pastoran. Di sana tampak seorang perempuan tua yang masih cantik di usianya. Dia menyambutku hangat dengan pelukan dan ciuman. Nampak uap menyembul dari panci panci yang berada di atas kompor. Mmmhhhhh baunya sedap sekali... sontak rasa lapar di perutku kembali minta diisi. Tak lama kemudian, seseorang turun dari lantai dua gedung pastoran, seorang bapak tua, pertama kuberpikir: “oohhh ini yang namanya Don Ettore”. Tetapi perkiraanku salah, ternyata beliau adalah ayah dari Don Ettore. Mereka berdua, pasangan suami istri ini, adalah orangtua Don Ettore yang memang tinggal di pastoran dan bertugas untuk mengatur rumah tangga pastoran dan gereja. Ada kebiasaan di Italia dan Eropa pada umumnya di mana orang tua para pastor kalau masih mampu bekerja, mereka tinggal di pastoran untuk membantu anak mereka mengurus rumah tangga pastoran.

Tidak lama setelah itu kamipun mengisi kursi-kursi di sekeliling meja makan, dan tiba-tiba seorang pria tinggi besar datang, dia mengenakan pakaian jubah hitam, lengkap dengan jas anti dingin yang tebal. Dialah Don Ettore, pastor paroki yang baru saja pulang dari pemakaman. Orangnya ramah dan tampak hawa suci mengalir dari senyumnya yang ramah dan riang. Kami pun makan bersama... mmmm makanan terenak yang pernah kumakan di Italia berupa spaggheti asli bikinan orang italia asli. (di asramaku, meski setiap hari makan makanan Italia tetapi yang memasak adalah para suster dari India).

Ini adalah Natal pertamaku di Italy, Natal pertama jauh dari keluarga, teman-teman dan orang-orang yang aku kenal. Hari-hari kulalui dengan duduk menggigil di kamar pengakuan, duduk menunggu umat yang mengaku dosa. Tidak jarang, sambil menunggu, aku membuka-buka buku pelajaranku. Maklum, setelah Natal, masa ujian akan segera datang. Cukup banyak umat yang mengaku dosa di paroki ini. Mula-mula aku mengalami kesulitan menangkap “dialeg” mereka, tapi lama kelamaan aku terbiasa juga. Nasihat pengakuan dosa yang tadinya kaku karena hafalan belaka, mulai mencair seiring bertambahkan “ketrampilan”ku berbahasa Italia. Tidak bisa dipungkiri oleh kami para pastor Indonesia, liburan di paroki selain menambah sedikit uang saku, juga meningkatkan kemampuan berbahasa Italia.

Di siang hari setelah lelah mendengarkan pengakuan, kopi hangat buatan mama don Ettore telah menungguku. Makan siang pun kami lalui bersama, aku merasakan suatu kehangatan keluarga di paroki ini. Mama dan papa Don Ettore tidak henti-hentinya menceritakan bagaimana bangganya mereka ketika anak mereka ditahbiskan menjadi seorang imam. Mata mereka juga menjadi nanar ketika menceritakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialami oleh putra mereka selama menjalani tugasnya sebagai imam. Oh... orang tua yang sungguh mulia... pikirku.

Malam Natal pun tiba, banyak sekali umat yang datang ke gereja, bangku gereja sampai tidak mampu menampung mereka. Selama misa malam Natal, aku pun masih duduk mendengarkan pengakuan dosa, bahkan sampai sebelum komuni kudus, karena umat di sini banyak yang beranggapan, lebih baik mengaku dosa menjelang lagu Anak Domba Allah dikumandangankan, supaya mereka menerima Tubuh Tuhan dengan hati yang sungguh bersih.

Di malam Natal yang dingin, ketika umat sudah mulai kembali ke keluarga mereka masing-masing untuk merayakan lahirnya Sang Juru Selamat, aku duduk sendiri di dalam Gereja yang kembali menjadi sunyi. Kuhayati hadirNya Sang Penebusku di dalam hidupku. Kubuka pintu Gereja, lalu kuberanikan kakiku melangkah di jalan yang dingin sekali. Angin dinginpun menggelitik tubuhku sampai menggigil. Kuberjalan sendiri, sepi dan sunyi. Kulalui rumah-rumah umat, kulewati perkarangan rumah mereka. Dari luar jendela yang masih bernyala, kudengar gelak tawa mereka sambil makan bersama. Kakek, nenek, papa, mama, anak-anak serta cucu-cucu berkumpul bersama, sungguh indah kebersamaan di malam Natal yang kudus. Kuingat bahwa Allah Putra pun hadir di dunia di tengah hangatnya keluarga kudus Nasaret di tengah malam yang dingin, sunyi dan sepi. Kusenandungkan lagu Malam Kudus di dalam hatiku untuk mengiringi langkahku... tak terasa air mataku menetes di pipiku yang membeku.... aku ingat keluargaku di Indonesia juga teman-temanku. Mendadak aku jadi kangen mereka. Memang keindahan sebuah keluarga baru terasa ketika kita jauh dari mereka.

Setelah hampir 1 jam aku berkeliling di jalan sepi nan sunyi, aku kembali ke pastotran. Ternyata sejak tadi aku sudah ditunggu oleh Don Ettore dan kedua orang tuanya. Kamipun berkumpul bersama di ruang makan, sambil menyantap sup hangat yang sungguh lezat. Mama Don Ettore tiba tiba mengeluarkan suatu bungkusan, ohh ternyata .... kado natal special untukku. Malam Natal kami lewati bersama dalam kebersamaan keluarga yang sungguh hangat dan berkesan. Terima kasih Tuhan, meski keluarga serta sahabat-sahabatku jauh, malam ini aku masih boleh merasakan sedikit kebersamaan di tengah keluarga seperti ini. Terima kasih ya Yesusku, Engkau hadir secara baru dalam hidupku. Tepat pukul 12 malam, lonceng gereja berbunyi meriah, sayup sayup keceriaan dan kebahagiaan Hari Natal berkumandang di hati setiap orang yang sungguh mendamba hadirnya SANG JURU SELAMAT DUNIA, YESUS KRISTUS TUHAN KITA. SANG EMANUEL, TUHAN BESERTA KITA SELAMANYA.

(Kisah ini adalah pengalaman NATAL ku tahun lalu di Italy, semoga berkenan)

Ketika Kulihat Papaku Bersayap

KULIHAT PAPAKU BERSAYAP SEPERTI MALAIKAT.....
(Mengenang 1 tahun meninggalnya Thomas Aquino Fanny Aries, 4 Februari 2009)

Ketika seorang anak di tanya : "Hadiah apa yang paling kamu harapkan dari orang tuamu"? Mungkin dia akan menjawab : mainan paling canggih yang sedang trend di antara teman-temannya, atau diajak keliling Dunia Fantasi-Ancol, atau sepeda roda empat dengan sadel yang empuk, atau bisa juga kue ulang tahun dengan boneka-boneka lucu di atasnya dan lain sebagainya. Atau kalau anak itu sudah mulai dewasa dan berkeluarga, mungkin ia tanpa merasa kurang ajar akan menjawab : warisan yang adil bagi dia dan kakak-adiknya.

Sedangkan seorang ayah atau ibu kalau ditanya : “Hadiah paling indah manakah yang pernah kamu berikan kepada anak-anakmu"? Mungkin mereka akan menjawab : tabungan untuk pendidikan dan masa depannya, atau sebuah apartemen mewah untuk anaknya bisa belajar hidup mandiri, sebuah rumah dan mobil mewah di hari pernikahannya.

Ada berbagai macam jawaban yang bisa kita berikan sesuai dengan pengalaman kita masing-masing, untuk itulah perkenanankan aku menceritakan kisahku.


Di suatu hari Minggu pagi, jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30, tanda mamaku sudah berteriak-teriak untuk membangunkan anak-anaknya yang masih bermalas-malasan di atas tempat tidur. Satu demi satu kami dibangunkan lalu digiring ke kamar mandi. Karena kami menggunakan kamar mandi yang cuma ada satu di rumah kami, maka diperlukan waktu yang panjang hanya untuk persoalan mandi saja. Hari minggu adalah hari wajib ke Gereja, waktu itu aku masih kelas 3 SD, adikku yang laki-laki masih kecil dan adikku yang bungsu belumlah dilahirkan. Aku beserta kedua kakakku HARUS ikut mama dan papa ke Gereja Santo Yosep Matraman untuk mengikuti Perayaan Ekaristi pukul 08.30. Dengan naik BMW roda tiga alias Bajaj Merah Warnanya, kami duduk berhimpit-himpitan menuju Gereja yang tidak terlalu jauh dengan rumahku.

Di dalam Gereja kami duduk berderet-deret satu baris. Aku duduk di sebelah kakak laki-lakiku. Pada waktu itu aku belum tau apa itu makna Perayaan Ekaristi, tapi bagian yang paling menarik bagiku adalah kotbah dari Pastor Bolly Lamak SVD. Kotbahnya yang lucu dan menarik, bisa membuat kami semua yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Setelah kotbah selesai, susana kembali menjemukan bagiku. Itu adalah saat paling enak untuk bercanda dengan kakakku. Entah iseng-isengan, atau apa sajalah yang bisa dibuat oleh seorang anak kecil dalam kebosanannya. Melihat kami anak-anaknya bercanda di Gereja, mamaku tidak henti-hentinya mendaratkan cubitan di paha-paha kami, tanda supaya kami segera diam. Setelah dicubit biasanya aku diam 5 menit, tetapi setelah itu, kembali bercanda lagi. Maka setiap kali misa tidak cukup hanya dengan satu cubitan.

Saat Perayaan Ekaristi selesai adalah saat yang paling aku tunggu-tunggu. Karena di depan Gereja sudah menunggu penjual-penjual makanan yang sudah sangat khas bagi umat matraman. Sebut saja MIE JUHI, pasti umat matraman tau di mana gerobak mie juhi yang terletak di samping telepon umum di depan sekolah Marsudirini. Atau ada juga enci-enci tukang bacang, roti baso, siomay, es doger atau ada juga tukang hamburger yang pada waktu itu harganya masih 500 rupiah atau 750 rupiah pakai keju tipis di tengahnya.

Entah apa yang mendorong mama dan papaku pada pagi itu ketika melihat penjual alat-alat dan buku-buku rohani di depan gereja, mereka membelikan kami anak-anaknya KITAB SUCI BERGAMBAR untuk anak-anak. Bukunya tidak terlalu besar tetapi cukup tebal untuk ukuran anak-anak. Berwarna hijau muda dan lay outnya horisontal. Di dalamnya berisi kisah-kisah menarik dalam Kitab Suci mulai dari Kisah Adam dan Hawa dalam Kitab Kejadian sampai Janji akan Dunia Baru di kitab Wahyu. Satu kisah diceritakan cukup dengan satu halaman. Yang paling menarik adalah di antara kisah-kisah pendek tersebut terdapat ilustrasi atau gambar-gambar menarik yang sangat bagus.

Meski aku bukan kutu buku sejak kecil, tapi aku mulai membaca Kitab Suci bergambar tersebut dari awal sampai akhir. Dari gambar yang tertera dalam buku tersebut aku bisa membayangkan bagaimana kisah-kisah dalam Kitab Suci itu mengalir. Imajinasiku bisa melayang bebas tanpa batas, misalnya bagaimana membayangkan baju indah Yusuf disobek-sobek oleh saudara-saudaranya, lalu ia dijebloskan ke dalam sumur dan pada akhirnya dijual dan menjadi raja di Mesir, lalu juga bagaimana kisah kesetiaan Ruth yang tidak meninggalkan mertuanya yang sudah janda, bagaimana Tuhan Allah meruntuhkan menara Babel karena kesombongan manusia, bagaimana Tuhan Yesus mengadakan mukjizat pertama di Canna, atau juga bagaimana membayangkan dunia baru dalam kitab Wahyu, di mana digambarkan ada seorang anak kecil sedang bermain-main di dekat singa dan sarang ular.

Bagiku pada waktu itu, pemberian mama dan papaku kepada kami anak-anaknya dalam bentuk Kitab Suci bergambar, bukanlah hadiah yang aku harapkan. Tetapi siapa sangka setelah 20 tahun kemudian aku baru bisa menyadari bahwa “pemberian iseng-iseng” tersebut adalah hadiah paling indah dalam hidupku.

Sudah pasti mama dan papaku ketika membeli buku tersebut di depan Gereja Santo Yoseph Matraman, tidak penah membayangkan bahwa salah satu anaknya akan menjadi seorang imam. Ataupun membayangkan di masa depan salah satu dari anaknya akan berkutat 7 jam sehari untuk menggeluti lembaran demi lembaran Kitab Suci. Saat ini aku menjadi seorang imam yang sedang belajar mendalami Kitab Suci secara khusus. Bagaimana kisah-kisah di dalam Kitab Suci bisa tertanam di dalam pikiran dan batinku sudah barang tentu merupakan andil besar dari sebuah buku sederhana pemberian orang tuaku dan menjadi “bacaan rohaniku” sejak kecil. Bagaikan seseorang yang membangun gedung tinggi, memerlukan fondasi yang kokoh kuat dan dalam, demikianpun halnya dengan Kitab Suci bergambar tersebut menjadi pijakan dan ikatan batinku dengan dunia yang aku geluti saat ini.

Dari kisahku aku hanya ingin membagikan pengalaman bahwa hadiah yang paling indah adalah suatu hadiah yang mempunyai makna abadi, tidak lekang oleh waktu, dan mampu memberi makna tersendiri dalam hidup kita di masa lalu, saat ini ataupun menerobos dimensi di masa depan. Hadiah tersebut tidak tergantung pada besar kecil harga atau kualitasnya tetapi terletak pada dinamika kehidupan itu sendiri.

Apakah ini hanya SEBUAH KEBETULAN BELAKA? Saya rasa tidak demikian. Saya percaya campur tangan Roh Kudus yang bekerja di dalam hal-hal yang tersembunyi dan tak tersadari, inilah yang disebut misteri. Misteri itu akan terkuak pada saatnya, seperti yang aku alami saat ini.

Kasih orang tua kepada anaknya adalah suatu anugerah yang sangat istimewa. Kasih itu menembus batas ruang dan waktu, tidak bisa dipisahkan oleh dimensi kehidupan yang berbeda sekalipun. Bahkan saat kulihat papaku bersayap seperti malaikatpun, aku masih bisa merasakan kasihnya padaku. Dia mengingatkanku kembali bagaimana kasihnya pada kami anak-anaknya, meski saat itu tidak satu orang pun yang menyadarinya.

Bagi setiap orang tua yang membaca kisahku ini, janganlah ragu memberikan kepada anak-anak, sesuatu yang sepertinya “tidak berharga” di mata dunia. Dunia boleh saja menawarkan aneka macam kenikmatan dan kesenangan, tetapi The world is not enough, dunia saja belum cukup, karena hidup kita tidak hanya terbatas di dunia ini saja. Berilah dengan kasih, sebab kalau sesuatu berdasarkan kasih, maka akan berbuah kasih juga.

Bagi setiap anak yang membaca kisahku ini, terimalah dengan penuh syukur setiap pemberian dari orang tuamu, anggaplah itu sebagai harta yang tak bisa dibandingkan dengan tumpukan emas dan berlian.


Bagai denting dawai sang maestro di malam sunyi,
rinai hujan meninggalkan sayup derai gelombang kehidupan,
mengalun mesra suara semesta,
menggetarkan jiwa terpana,
sendiri, sepi, tiada bertepi.....
dalam samar mata nanarku
sekali lagi kulihat Papaku bersayap seperti malaikat.

Papaku yang saat ini di surga, terima kasih atas segala kasih yang kau berikan. Doaku selalu untukmu. Tuhan Yesus, tolong jaga papaku.

Anakmu, Romo Josep Ferry Susanto, Pr.

Mata Yang Membuat Aku Jatuh Cinta

"Dalam perjalananku menuju sebuah desa terpencil di tepi hutan, di tengah jalan setapak kulihat seorang anak laki-laki berusia kira-kira 5 tahun, telanjang tanpa mengenakan sehelai pakaian pun di tubuhnya. Dia sedang berjalan mengendap-endap perlahan, sambil matanya tertuju pada sesuatu, serius sekali. Tiba-tiba anak itu menggandeng tanganku, tanpa berkata apapun, bahkan tanpa menoleh ke arahku. Bocah cilik itu menuntunku perlahan-lahan ke sebuah pohon tinggi besar. Lalu anak itu menunjuk ke atas, lagi-lagi tanpa suara dari mulutnya. Ketika kuikuti arah telunjuknya, kulihat seekor burung yang sangat indah warnanya dan sangat langka. Baru kutahu ternyata bocah ini dengan cerdiknya mau menunjukan padaku seekor burung yang sangat indah tanpa membuat burung itu terbang karena suara kami. Kutatap mata anak itu....ya matanya, matanya yang memancarkan sejuta kekuatan yang membuat aku "jatuh cinta" untuk pertama kali kepadanya."


Begitulah Paolo menceritakan kembali bagaimana ia dipungut oleh seorang pastor tua sejak ia masih kecil. Paolo sendiri sebetulnya sudah tidak ingat sama sekali peristiwa perjumpaan pertamanya dengan "tuannya" (begitu ia menyebutnya), yaitu seorang pastor tua yang bernama Romo Petrus. Cerita itu didengarnya di hari pentahbisannya, dari mulut Romo Petrus sendiri yang berkali-kali dengan bangganya menceritakan kepada teman-temannya bagaimana dia memilih Paolo menjadi anak angkatnya.

Teman-teman tentu masih ingat dengan teman sekamarku dari Vietnam yang bernama Pastor Paolo yang pernah aku ceritakan dalam Notes : "Paolo,Pastor yang banyak uang". Di suatu malam, di hari ulang tahun imamatku yang keempat, aku dan Paolo menceritakan sejarah panggilan kami masing-masing sebagai imam. Betapa terkejutnya aku mendengar kisah panggilan sahabatku ini, yang bisa membuat aku haru biru. Hal itulah yang membuat jari-jariku menari lagi di atas keyboard untuk merangkai sebuah kisah.

Paolo berasal dari keluarga petani miskin di sebuah desa terpencil bernama Vinh di Vietnam Utara. Nyaris tidak mengenali sosok ayahnya, karena dia sudah menjadi anak yatim sejak berumur 4 tahun. Ibunya terpaksa menanggung 8 orang anak yang masih kecil-kecil kala itu hanya dengan mengandalkan hasil pertanian dari sawahnya yang tidak cukup besar.

Ada kebiasaan sejak lama di Vietnam di mana setiap pastor tua memilih seorang anak laki-laki untuk tinggal bersamanya kemudian tanpa memaksa, mengarahkan anak itu untuk menjadi seorang pastor kelak (mungkin di Indonesia, seperti "nyantrik"). Maka tidak heran Paolo sudah diambil dari tengah keluarganya sejak umur 12 tahun. Anak yatim ini harus tinggal di pastoran tempat tuannya tinggal.

Kerja bocah 12 tahun ini sehari-hari dimulai sejak jam 4 pagi, di mana dia harus mengepel lantai pastoran dan gereja, lalu membunyikan lonceng gereja (yang sangat besar untuk ukuran seorang anak kecil) untuk mengundang umat lainnya mengikuti Misa pagi. Membuka pintu gereja, menyiapkan alat-alat Misa, mengatur semua kebutuhan tuannya, sampai memasak untuk makan mereka, itu semua menjadi sebagian kecil dari "job desk" bocah ini. Di hari minggu, di mana anak-anak seumurannya pergi ke Gereja dengan digandeng orang tua mereka, bermain-main kesana kemari, Paolo kecil harus siap sedia di sakristi dan setelah misa selesai dia harus mengajar sekolah Bina Iman dan para katekumen.

Bukan cuma bertugas sebagai pelayan sang tuannya saja, Paolo kecil juga dididik keras tentang hidup doa yang teratur. Pernah suatu kali dia diminta tuannya untuk mendoakan sepanjang malam seorang pastor yang baru saja meninggal. Dari situ ia mulai berpikir untuk pertama kalinya, betapa hebatnya seorang pastor itu, bahkan sampai meninggalpun masih terus didoakan oleh banyak orang.

Berkali-kali juga dia menemukan uang, entah di gereja, di halaman atau di pastoran ketika ia sedang bersih-bersih. Bocah polos ini selalu mengambil uang itu lalu menyerahkannya kepada tuannya. Tanpa sadar sebenarnya bocah kecil ini sedang diuji oleh tuannya tentang arti sebuah kejujuran.

Pernah suatu kali, bocah kecil ini bertugas membersihkan altar tetapi karena masih anan-anak, dia melakukan tugas itu sambil bermain-main. Perbuatannya itu dilihat oleh tuannya. Romo Petrus tanpa marah, memanggil bocah kecil ini ke ruang kerjanya. Di situ Romo Petrus membacakan kisah Imam Eli dalam kitab Nabi Samuel dari Perjanjian Lama, di mana imam Eli mati mendadak karena anaknya berbuat dosa kepada Allah. Dari kisah itu Romo Petrus mau mengajarkan bahwa dirinya bisa mati mendadak bila ia tidak bisa mendidik anaknya dengan baik untuk menghormati Allah. Sejak saat itu ikatan batin Paolo kecil dengan tuannya semakin kuat.

Perlahan-lahan Paolo kecil mulai menyadari bukan main besarnya harapan tuannya itu kepada dirinya. Dan juga betapa terpesona dirinya pada sosok Tuhan Yesus yang selalu diperkenalkan oleh tuannya yang begitu ia kagumi. Ketika Paolo muda mengikuti test masuk seminari, siang malam tuannya itu berdoa tanpa henti. Karena dari 204 anak muda yang mendaftar, hanya 20 anak saja yang akan diterima. Karena terpaksa Seminari tidak mampu menanggung lebih dari 20 anak karena keterbatasan biaya.

Tak bisa kubayangkan betapa bahagianya Romo Petrus ketika melihat sosok bocah kecil telanjang yang dipungutnya di jalan setapak di suatu desa terpencil, kini berjalan menuju altar di hari pentahbisannya dengan jubah putihnya. Tak mampu juga kubayangkan pula betapa sedihnya Paolo ketika ditengah-tengah studinya di Roma, ia harus menerima kenyataan pahit karena tuannya itu meninggal dunia secara mendadak.


Dari kisah Paolo kita bisa belajar banyak hal, bahwa tidak ada panggilan yang spontan sifatnya. Semua adalah rencana mulia Tuhan yang menjadi indah pada waktunya. Sejarah panggilan seorang imam bisa menjadi bukti nyata tentang cara Tuhan memilih orang yang dikehendakiNyadengan cara-caraNya yang ajaib. Tidak ada sesuatupun yang kebetulan di luar rencanaNya, asal kita mampu melihat setiap peristiwa lebih dalam dan dalam lagi.

Sebungkus Keripik Kentang Dalam Genggaman

Sebungkus Keripik Kentang Dalam Genggaman(Rahmat Luar Biasa di Ulang Tahun ke-4 Imamatku)


Riak-riak kecil aliran sungai Rein memantulkan seberkas sinar lembut sang surya yang bersiap tidur dalam peraduannya, indah bagai cermin kehidupan yang memantulkan gerak langkah hidup anak manusia di atasnya. Hutan cemara di sepanjang tepian sungai melambai lembut bersaut-sautan dalam belaian angin senja, bagai dawai biola kehidupan alam semesta.

Alangkah tenang, damai dan bersahajanya alam ini. Tidak heran kota ini telah menghasilkan musisi super genius sekelas Bethoveen yang mampu membuat malaikat-malaikat turun dari langit untuk mendengarkan setiap melodi yang diciptakannya.

Keindahan Sungai Rein sungguh bukan cuma sebatas teori di buku-buku pelajaran Geografi yang pernah aku baca ketika duduk di bangku SMA. Sungai ini adalah salah satu sungai terbesar yang membelah Kota Bonn-Jerman Barat dan telah ribuan tahun menjadi salah satu tulang punggung transportasi dan perekonomian kota ini.

Perahu-perahu raksasa yang disulap menjadi Restoran berkelas menambah indahnya cahaya temaram sore itu dengan kerlip kerlip lampunya yang beraneka warna. Tetapi sayangnya cuma orang berpunya saja yang bisa makan di dalamnya. Pemandangan yang sungguh kontras dengan sebungkus keripik kentang yang menemaniku duduk sendirian di bangku kosong di salah satu tepiannya. Keping demi keping keripik kentang itu kumakan pelahan penuh kenikmatan, karena cuma itu yang bisa ku beli untuk makan malamku kali ini.

Dalam setiap keping kentang renyah yang kumakan, aku mencoba mengingat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan yang sungguh nyata dalam hidupku dan kini terhadir kembali dalam slide-slide kehidupanku yang penuh warna. Pada kepingan pertama, anganku melayang kembali ke masa kecilku dalam keluarga. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, aku berada di tengah-tengah. Keluargaku adalah keluarga biasa sama seperti keluarga pada umumnya, tidak ada yang menonjol namun tetap bisa kubanggakan. Seorang nenek, papa dan mama yang begitu baik, tidak memanjakanku begitu hebatnya, namun kasihnya sangat jelas terasa.

Kakak-kakak dan adik-adik yang dulu ketika kecil sering berkelahi meski karena hal kecil, kini mampu bermetamorfosis begitu indahnya seiring berjalannya waktu dan kedewasaan. Saat ini kami sudah tersebar-sebar, papaku sudah berpulang ke rumahnya yang terakhir, kakakku tertua jauh di Benua Paman Sam, aku merantau sendirian di Benua Eropa, sedangkan mama dan keluargaku lainnya jauh di Indonesia.

Masa bahagia penuh tawa sampai masa sulit penuh isak tangis telah kulalui silih berganti bersama mereka. Masih teringat jelas dalam satu ruang otakku bagaimana satu kali mama karena terpaksa sekali menyuruhku mengunci pintu ketika petugas RT datang hendak menagih iuran kebersihan. Perjuangan papa mama membanting tulang dari pagi buta sampai larut malam tidak akan pernah tergantikan bahkan oleh hadiah termahal yang bisa kuberikan untuk mereka saat ini. Telapak tangan mereka yang kasar adalah bukti nyata kasih mereka meski jarang terkatakan.

Kasih Tuhan benar-benar menjawab setiap doa kami dan mewujudkan setiap impian dan harapan kami. Tanpa sadar kepingan kentang yang sudah lembut dalam mulutku, kutelan dengan penuh rasa syukur dan terima kasih.

Dalam kepingan kedua yang kumakan, aku teringat setiap pribadi yang pernah hadir dalam hidupku sampai sekarang, dengan berbagai macam cara mereka mengembangkan aku. Ada yang memberikan aku makna kebahagiaan, keceriaan dengan canda dan tawa, ada pribadi-pribadi yang pernah kusakiti atau atau ada juga yang pernah menyakiti hingga membuat aku menangis, ada juga yang membuka wawasanku tentang arti harapan dan hidup.

Satu per satu pribadi-pribadi itu melintas bagai gambar film di atas kepalaku: sanak saudaraku, para sahabat dan teman-temanku, para guru dan rekan sekerjaku, para muridku, serta setiap pribadi yang telah menggoreskan sebuah coretan di dalam buku putih kehidupanku. Setiap peristiwa yang aku lalui bersama mereka, kini bisa kusenyumi, bahkan ada beberapa peristiwa yang sungguh mampu membuatku tertawa sendiri.

Aku tertawa bukan hanya karena sungguh bahagia tetapi juga menertawai kebodohan dan kesalahanku di masa lalu. Kepingan kentang kedua ini kutelan bersama dengan rasa syukur dan doaku untuk mereka yang telah hadir dalam hidupku, Tuhan balaslah segala kebaikan yang pernah mereka berikan kepadaku. Biarlah doa dan harapan tulus mereka senantiasa menjadi nafas bagi hidupku.

Bersamaan dengan keping ketiga yang kumasukan dalam mulutku, anganku terhanyut pada gambaran seorang anak kampung sederhana yang sedang berjongkok di atas rerumputan dan kini berubah menjadi seorang Imam muda. Bagai ulat gatal dalam kepompong yang kini mulai berubah menjadi kupu-kupu cantik dengan sayap-sayap indahnya.

Sejak kecil aku bukanlah pribadi yang istimewa, sama sekali jauh dari gambaran anak gaul jaman sekarang ataupun seorang anak yang mampu membuat bangga orang tuanya karena terpampang namanya di papan tulis di dalam urutan angka 1 sampai 10 waktu pengambilan raport tiba. Aku hanya anak pendiam yang cenderung minder tetapi usil karena tidak mampu membendung jutaan ide yang berputar di kepalaku secara spontan.

Ketika aku melihat sosok diriku yang mengenakan jubah putih, lambang kesucian, kesederhanaan dan rahmat, aku sendiri masih heran dan tidak percaya, betapa Tuhan sungguh selalu mengasihi aku dan membuat hidupku menjadi baru. Rahmat Tuhan membawaku pada kebahagiaan yang masih diimpi-impikan jutaan orang di luar sana, yaitu hidup dalam kepenuhan rahmat dan menjadi penyalur rahmat bagi orang lain secara utuh.

Fakta sejarah hidupku yang penuh liku mengajarkanku untuk tidak menjadi besar kepala, karena kusadari sungguh, semua yang aku terima kini hanya semata anugerah yang diberikanNya kepadaku. Kusadari sungguh bahwa harta itu kini masih berada di dalam suatu BEJANA TANAH LIHAT YANG RAPUH. Dalam hatiku kuberdoa : “Tuhan bantu aku untuk menjaganya. Jagalah hatiku dari segala keterpecahaan dan kesia-siaan. Biarlah harta itu selalu berdiam di dalamku, jangan biarkan seorangpun mengambilnya dari padaku, sebab kuyakin RahmatMu cukup bagiku.”

Dasyatnya gelombang rahmat yang mengalir saat itu memenuhi relung-relung hatiku, begitu hebat dan luar biasa bahkan sampai tak bisa lagi aku menahannya. Gelora syukur itu akhirnya tertumpah dalam sesak tangis dan air mata bahagiaku. Lagi-lagi hadiah indah menjelang Ulang Tahun imamatku yang keempat tanggal 15 Agustus. Meski sekali lagi seperti tahun-tahun sebelumnya selalu kurayakan seorang diri jauh dari keluarga dan sahabat, namun bagiku rahmat ini sudah jauh lebih dari cukup.

Terima kasih Tuhan, Kau sungguh mencintaiku. KasihMu nyata bagiku, meski hanya melalui sebungkus keripik kentang dalam genggamanku.Terima kasih Tuhan untuk semuanya, ajar aku supaya hari demi hari semakin menjadi imam yang baik, seperti yang Kau kehendaki dalam hidupku. Salam Bahagia dari jauhP. Josep Susanto, Pr

KasihNya kadang tak bisa kupahami

Seorang kakek tua berjanggut putih menyapaku dengan lembut berkali-kali : “Josep bangun.... Seppp bangun Seppp.... Josep bangun....”. Kata-kata itu terus mengganggu tidur nyenyakku di siang hari yang dingin. Ketika aku membuka mata, otakku langsung dipenuhi oleh kepanikan. Kulihat jam dinding sudah menunjuk jam 15.45. Oh my Godddd...., Oh my Goddd.... teriakku spontan, mengapa alarmku tak berbunyi, 15 menit lagi kuliah akan dimulai, sementara sekarang aku masih di kamar.....

Kepanikan ini memang bermula dari keteledoranku mengacuhkan informasi di papan pengumuman kampus di setiap awal tahun ajaran. Untuk semester ini aku mengambil mata kuliah yang sangat PENTING dan MENENTUKAN kelanjutan studiku di kota Roma. Kuliah ini sangat sulit dan diajar oleh dosen yang sudah sangat senior di kampus, yaitu mengotak-atik teks-teks kuno bahasa asli Kitab Samuel. Mulanya aku beranggapan bahwa pelajaran ini baru akan dimulai minggu depan, tetapi dua hari yang lalu baru aku tahu bahwa pelajaran untuk materi ini ternyata sudah dimulai sejak 2 minggu yang lalu, alhasil aku sudah ketinggalan 2 pelajaran penting yang hanya diikuti oleh 6 mahasiswa ini. Jadi bisa dibayangkan betapa buruknya aku di mata dosen senior ini nantinya, sangat mungkin aku di DO dari pelajaran ini.

Dengan baju tidur seadanya, langsung kuraih jaketku. Kukenakan sepatuku seadanya, kuambil tasku yang kuisi dengan laptop dan buku seadanya. Kuberlari ke luar asramaku yang cukup besar. Jarak asramaku dengan kampus ditempuh kira kira 1 jam dengan bis umum, itupun kalau semuanya lancar. Aku harus dua kali naik bis umum yang sore itu sangat padat sekali keadaannya. Bus pertama yang kunaiki jalannya seperti kura-kura yang sudah waktunya bertelur. Sambil berdiri berhimpit-himpitan, hatiku terus menerus melirik jam tanganku. Malangnya aku harus melewati basilika Santo Petrus, yang selalu dipadati dengan bis-bis turis dan lalu lalang orang banyak.

Karena tak sabar dengan kemacetan yang luar biasa di sekitar Basilika Santo Petrus, aku turun dari bis dan langsung berlari sekencang mungkin. Angin dingin sore itu tidak mampu menghibur paru paruku yang nyaris terbakar karena dipompa terlalu keras. Karena satu hal yang paling aku takuti dalam hidup yaitu aku takut terlambat, apalagi keadaanya seperti yang aku alami sekarang ini. Keterlambatanku semakin mencoreng wajahku di mata dosen. Hanya satu yang kuulang-ulang dalam hatiku : “Tuhan selamatkan aku dari situasi buruk ini, aku percaya Engkau sungguh ajaib”.

Aku turun dari bis yang kedua, langsung aku berlari sekencang mungkin dan aku menyeberang di tempat yang tidak semestinya.... hampir sebuah bis besar menyerempetku, membuat jantungku semakin tak menentu. Aku terus berlari. Jam 16.30 akhirnya sampai juga aku di kampus yang menurutku paling jelek bangunannya se kota Roma namun menjadi salah satu pusat studi kitab suci seluruh dunia.

Kepanikan yang kedua setelah aku sampai di kampus adalah aku tidak tahu di ruangan mana pelajaran itu berlangsung. Aku mencari dan berlari, di situasi yang sudah sangat terlambat itu, akhirnya kutemukan ruangan tersebut. Dengan takut-takut kubuka pintu ruangan tersebut yang ternyata dimatikan lampunya. Di dalamnya sang dosen senior sedang menggunakan OHP untuk menerangkan materinya. Kedatanganku tentunya mengganggu jalannya pelajaran, karena pelajaran langsung terhenti terganggu oleh aku yang mencari kursi kosong dalam situasi gelap.

Pelajaranpun berlangsung setelah aku dapat tempat duduk. Baru kusadari kakiku sakit sekali sekarang karena berlari, dadaku pun sesak bukan main. Kulihat di layar, bahasa-bahasa kuno dari kitab 1 Sam 2, yang sama sekali tidak kumengerti konteksnya, maklum aku sudah ketinggalan 2 pelajaran. Dua jam kudengar dosen itu berbicara sambil menanyai mahasiswa yang hadir, ketika tiba giliranku, pertanyaan-pertanyaan tersebut kujawab seadanya.

Di akhir pelajaran, dengan muka penuh penyesalan dan pasrah, kudatangi dosen senior tersebut untuk menanyakan apakah aku diperbolehkan mengikuti kuliah ini. Dosen tua itupun menjawab : “Ohh.. anakku... kamu adalah penyelamat kami...” Aku pun terbengong-bengong sambil mencoba memahami kata-katanya. Dia melanjutkan: “untung kamu datang, sejak 2 minggu lalu kami menunggu nunggu satu orang mahasiswa lagi yang mau mengikuti kuliah sulit ini, keikutsertaanmu melengkapi kekurangan peserta yang menjadi kecemasan kami selama ini....

Mendengar kata-kata dosen senior tadi aku tercengang dasyat..... yang ada di kepalaku hanya kata-kata : “oh Tuhan Kau selamatkan hidupku sekali lagi. Apa yang tidak mungkin, menjadi mungkin dan indah”. Sepulang kuliah aku mampir ke salah satu Basilika, aku berdoa dan bersyukur sejadi jadinya.... sungguh benar Tuhan, Engkau terlalu ajaib bagi pastor kecil seperti aku ini......

Imam Yang Banyak Uang

Ketika Paolo Berkisah : Imam Yang Banyak Uang.

Selama tinggal di Jerman, untuk menghemat pengeluaran, aku menempati satu kamar untuk dua orang, kebetulan aku mendapat teman sekamar dengan seorang pastor muda dari Vietnam. Paolo namanya, orangnya jenaka dan smart kelihatannya. Saat ini dia menempuh program S3 di bidang Hukum Gereja.

Meski umurnya 3 tahun lebih tua dari aku, tetapi dia lebih pendek sedikit dari aku. Entah kesamaan fisik atau apa (sama-sama suka usil heheh), dari hari ke hari kami merasa cocok dalam pertemanan.

Satu yang kukagumi dari Paolo adalah hidup doanya. Dari bagun pagi pagi sampai larut malam dia selalu mendoakan Ibadat Harian 5 kali ditambah 2 kali doa Rosario, aku perhatikan sehari pun tidak pernah bolong. Pernah suatu hari dia dengan terang-terangan menegurku, “Kamu kok hari ini doanya bolong dua kali, kamu itu imam atau preman?” (aku bilang, kata-katanya lucu tapi dalem....). Dari Paolo aku banyak belajar tentang kedisiplinan doa tingkat tinggi di tengah sibuknya belajar.

Suatu kali kami ngobrol-ngobrol di sore hari yang panas di pinggir jendela kamar, karena esok hari libur. Kami bercerita tentang latar belakang kami masing masing mulai dari hal-hal kecil sampai kebijakan-kebijakan keuskupan kami masing-masing. Paolo sangat senang ketika kuperlihatkan foto adikku yang perempuan di Facebok, dia bilang, adikmu cantik sekali..... makanya sejak saat itu dia memanggilku kakak ipar (memang kurang asem, teman baruku ini iseng sekal).

Paolo pun bercerita tentang suka dukanya 5 tahun belajar di kota suci, jauh dari rumah dan keluarganya. Dia bercerita bagaimana teman-teman pastor di keuskupannya menganggap dia “Imam yang Banyak uang”. Karena kami, para imam yang mendapat beasiswa dari Kepausan memang menerima uang saku 1000 euro untuk satu tahun. Jumlah itu memang besar sekali “kelihatannya”, apalagi kalau dikurs dengan mata uang Vietnam. (bisa sebanyak 2 tas besar pecahan uang kertas katanya).

Cap “Romo Kaya” itu melekat sedemikian rupa pada dirinya, apalagi kalau teman-temannya membayangkan indahnya kota-kota Eropa dengan berbagai fasilitasnya. Selama 5 tahun Paolo hanya diam saja diberi cap demikian, meski pada prakteknya, dia memerlukan perhitungan sangat-sangat KERAS untuk mengelola uang sakunya tersebut supaya bisa terus tersedia sampai akhir tahun untuk berbagai macam kebutuhannya yang jauh melebihi jumlah tersebut. Tetapi hebatnya, meski selalu besar pasak dari tiang, Paolo tidak pernah merasa kekurangan.

Sampai pada akhirnya, ketika penutupan tahun imam bulan lalu, 7 orang imam dari keuskupannya datang ke Roma untuk menghadiri Misa Penutupan Tahun Imam dengan Bapa Suci. Paolo menjemput mereka di stasiun pusat lalu bersama mereka menaiki bus umum yang harganya 1 euro untuk satu orang hanya untuk 75 menit.

Di sambung lagi dengan berjalan kaki sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer, dan sampai di Hotel dengan harga standard tanpa AC. Saat itu kota Roma sedang panas-panasnya. Selama teman-teman imamnya di Roma, Paolo juga mengajak mereka mengelilingi kota Roma yang indah, lagi-lagi dengan naik bis umum seperlunya dan selebihnya berjalan kaki.

Di hari kedua para imam teman-teman Paolo mulai berkeluh kesah letih dan lelah. Padahal rute perjalanan yang mereka tempuh itu adalah rute Paolo setiap hari dari asrama ke kampus. Mereka mulai merasa terbakar tinggal di hotel tanpa AC meski harganya lumayan mahal. Ketika makan siang dan makan malam, Paolo mengajak mereka ke tukang Pizza pinggir jalan yang menjual sepotong Pizza seharga 4 euro per orang dan air mineral 3 euro per botol.

Apa yang mereka lakukan di hari terakhir kunjungan mereka ke Roma? Sangat mengejutkan. Satu per satu mereka minta maaf kepada temanku yang kecil ini, atas julukan yang sudah melekat kepadanya selama bertahun-tahun. Dan mereka berkata, kalau suatu saat Paus mengundang mereka ke Roma lagi, mereka akan berpikir 1000 kali untuk datang. Kota Roma memang bagus, tetapi bagus hanya untuk 2 atau 3 hari.
Mendengar teman baruku ini berkisah, aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, sambil berpikir dalam hati : Puji Tuhan, karena sebagai seorang imam projo yang harus mandiri selama hidup di negeri orang, nasibku jauh lebih baik dari teman kecilku ini, paling tidak aku tidak punya teman-teman yang punya pemikiran seperti teman-teman Paolo.

Memang aku pun sama seperti Paolo, selalu berpikir keras untuk mengatur pengeluaranku itu (atau memang pada dasarnya aku pelit heheehe), tetapi selama 2 tahun ini aku merasa Tuhan selalu memeliharaku hingga aku tidak berkekurangan sesuatupun.

Aku punya Bapak uskup yang baik yang selalu membantuku menutup biaya tambahan untuk memperdalam materi kuliahku atau untuk suatu keperluan yang penting dan mendesak, sementara Paolo harus menanggung semuanya sendiri. Pertolongan Tuhan untukku juga selalu datang di saat yang tepat, entah ada saja tangan-tangan malaikat kecil yang menolongku di kala aku sedang berpikir 10 kali untuk membeli sebuah buku pelajaran untuk ujian yang harganya 150 euro. Pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat, itu prinsipku.
Di akhir percakapan aku bicara kepada Paolo temanku ini, Paolo kita beruntung ya jadi imam, hidup dan kebahagiaan kita tidak bergantung pada uang, tetapi pada bagiamana kita mengisi hidup imamat kita sendiri. Punya uang bahagia, ngak punya uang juga tetap bahagia. Semua sudah Tuhan jamin buat hidup kita. Karena Dia terlalu baik buat kita imamNya. Kalau kita mau menyerahkan seluruh kekhawatiran kita, Tuhan pasti selalu datang menolong pada saat yang tepat dengan cara-caraNya yang ajaib dan pertolonganNya tidak melulu soal uang (misalnya tiba-tiba ada teman yang memberi buku yang tidak mampu kita beli). Jarang loh ada hidup yang seperti ini....

Kata-kata terakhirku itu juga diamini oleh teman kecilku ini. Sekali lagi terima kasih Tuhan untuk segala pertolonganMu pada kami imam-imam kecilmu ini.
Membaca dan mendengar kisahku dan Paolo ini, masih adakah teman-teman yang khawatir untuk menjadi seorang imam?