Friday, July 15, 2011

Jerit pilu di balik awan

Kabut putih pekat menggelayut di atas perbukitan terjal menutupi deretan rumah rumah yang tertata apik nan asri. Di setiap atapnya tampak mengepul asap putih keluar dari cerobong-cerobongnya.

Deras air pegunungan mengalir indah bagai permata, memantulkan sinar mentari yang terus mengintip di balik kabut. Suara gemericiknya membuat sensasi kedamaian di setiap hati orang yang melewatinya.

Panorama seperti ini jauh melebihi imajinasi masa kecilku ketika melihat iklan rokok terkenal dari Amerika di televisi. Bahkan di antara film film sekelas Holywood pun belum pernah kelihat pemandangan indah yang ada di depan mataku saat ini.

Menjulang di atas bukit nan jauh di atas sana, kupandangi kubah gereja tua yang hanya menampakan salib Kristus yang berdiri gagah di atas menaranya.

Ayunan lonceng gereja-gereja yang saling berdekatan sedemikian rupa bersaut-sautan melantunkan lagu-lagu natal begitu indahnya, menyatu dengan harmoni alam hingga mampu menghangatkan dingin dunia sekitarnya.

Hawa dingin berhembus begitu menggigit dan membeku seiring dengan rinai rintik hujan yang perlahan-lahan membasahi wajahku yang mulai mati rasa. Anganku melayang jauh... beginilah kiranya tanggapan dunia menyambut lahirnya Kristus Sang Raja Damai. Dingin, sepi tak berujung... Padahal sudah sejak jaman dahulu para nabi berseru: "Hai dunia lunakkanlah hatimu, hangatkan jiwamu menyambut Kristus Penyelamatmu". Tetapi dunia tetap asyik dengan segala kesibukannya berkubang dalam kegelapan dosa.

Itulah sedikit gambaran tentang indahnya Paroki Santa Maria Terangkat ke Surga-Pedemonte-Genova Italia utara, tempat aku berasistensi di natal tahun ini.

Masyarakat di desa ini masih sangat sederhana dan hangat menyambut kedatanganku dari kota Roma (7 jam dng kereta jaraknya). Di desa ini aku tidak tinggal di pastoran tetapi sebuah apartement tua nan sederhana milik paroki yang hanya berisi 2 kamar, 1 dapur dan kamar mandi (Jangan membayangkan apartement seperti di Jakarta, karena akan kecewa).

Tugasku di paroki ini adalah memberi pengakuan dosa dan memimpin Perayaan Ekaristi di kapel kecil bernama San Rocco. Pastor kepala di paroki ini bernama Don Michele. Dia bertugas memimpin perayaan Ekaristi di Gereja pusat yang berjarak tidak begitu jauh. Don Michele adalah seorang pastor tua berumur 72 tahun dan sudah bertugas seorang diri di paroki ini selama 28 tahun. Wawwww sungguh kurun waktu yang sangat lama. Mengapa begitu lama? Suatu pertanyaan dengan jawaban ironis. Tidak lain karena tidak ada lagi tenaga dari imam imam lokal.

Maka jangan heran bila seorang pastor kecil yang tak meyakinkan sepertiku bisa terdampar di tempat terpencil seperti ini. Seorang pastor kecil yang berasal dari negara "antah berantah" (baca: Indonesia), yang mayoritas beragama Islam, bisa melayani umat di negara yang semuanya beragama Katolik. Itulah titik ironinya.

Pertemuanku dengan orang-orang tua kesepian mewarnai pengalamanku di paroki ini. Masih bisa kuingat bagaimana wajah Marisa, seorang wanita tua, pemilik rumah makan yang sempat kukunjungi beberapa kali, meneteskan air mata kesedihan ketika aku berpamitan dari restoran kecil yang sudah dikelolanya sejak 40 tahun yang lalu. Kulihat ada titik air mata di ujung kelopak matanya ketika dengan lirih dia mengucapkan: "Selamat Natal Don Josepe, berarti besok kita tidak bertemu lagi?"

Aku pun berpikir, kalau aku pergi, siapa nanti yang akan mengajak ngobrol wanita tua ini yang kini tinggal seorang diri sepeninggal suaminya beberapa tahun yang lalu.

Marisa selalu menemaniku saat makan dengan obrolan-obrolan ringan. Senyum ramahnya selalu muncul dari antara kerut kerut wajahnya yang mulai layu termakan usia.

Kesan mendalam dengan nasib pilu pada lansia seperti yang dialami Marisa memberiku inspirasi untuk kotbah di Hari Raya Keluarga Kudus. Dalam kotbah aku menekankan betapa pentingnya menjaga keutuhan keluarga, termasuk bagaimana anak anak harus menghormati orang tua mereka dan bagaimana orang tua jangan sampai menyakiti hati anak-anak mereka.

Menghormati orang tua ketika mereka punya banyak materi adalah mudah. Tetapi saat mereka tua, sakit sakitan dan hanya bergantung pada orang lain, masih mampukah anak anak menghormati orang tua mereka dengan sepenuh hati? Menghormati orang tua adalah salah satu tuntutan Allah dalam 10 perintahNya.

Kotbahku kali ini disambut dengan senyuman dan anggukan para lansia yang memenuhi bangku Gereja pagi itu. Seolah kotbahku ini mewakili jeritan hati mereka yang terdalam selama bertahun tahun lamanya.


Lagi-lagi Tuhan Yesus terlalu baik untukku, seorang pastor kecil yang tak meyakinkan ini. Dia beri aku semangat baru dalam melayani. Mengajarkanku untuk melayani dengan hati yang penuh empati dan peduli dengan mereka yang kurang beruntung dalam hidupnya.
Tuhan Yesusku, terima kasih sekali lagi, Kau lahir secara baru dalam hatiku.....

Selamat Natal sahabat-sahabatku, damai dan suka citanya senantiasa dekat di hatimu.


No comments:

Post a Comment