Monday, July 11, 2011

Haru Biru Natal di Kota Abadi

Angin dingin bulan Desember berhembus dengan lembutnya menerpa wajahku yang tampak sudah hampir membeku kedinginan. Pagi-pagi buta aku sudah berdiri menggigil di halte bus yang terletak di depan asramaku untuk menunggu bus yang akan mengantarku ke stasiun kereta api di pusat kota Roma. Meski dinginnya menusuk tulang, tapi mataku dihibur oleh hiasan-hiasan indah bertema Natal yang tersusun rapi di sepanjang jalan. Lagu-lagu natal yang diputar di toko-toko juga kerap sayup-sayup terdengar dengan riangnya.

Setelah menunggu sekitar 15 menit akhirnya bis yang aku kehendaki datang juga. Di dalam bus keadaanya mulai sedikit hangat. Jalan-jalan masih lengang di pagi hari, terlebih karena hari ini kota Roma sudah memasuki musim liburan, 3 hari sebelum Natal. Bis yang aku tumpangi melewati Basilika Santo Petrus yang selalu ramai disinggahi oleh para turis dari berbagai pelosok dunia bahkan di pagi buta seperti saat ini. Basilika yang menjulang tinggi dan kokoh kini semakin cantik dengan pohon cemara raksasa dan Gua Natal berukuran raksasa yang dipamerkan di pelatarannya. Tampak Bunda Maria, Bapa Yosep, palungan dan tidak lupa juga para gembala dengan hewan ternak mereka, seolah sungguh hidup, karena patung tersebut berukuran seperti manusia pada umumnya. Setiap tahun pakaian mereka diganti-ganti dengan pakaian tradisional dari negara tertentu yang dipilih. Batinku berbisik : Natal... oh natal yang indah.... tapi jauh di dalam lubuk hatiku aku masa ada yang hilang, entah apa itu...aku tak tahu jawabnya.

Sebagaimana kebiasaan para pastor yang belajar di kota abadi Roma, setiap Natal dan Paskah , kami pergi ke paroki-paroki di luar kota Roma untuk berasistensi, Natal tahun ini aku bersama 7 teman Indonesia lainnya diminta oleh salah satu dekenat di kota Pisa (Italia Tengah) Kota Pisa terkenal dengan menara miringnya yang dibangun berabad-abad yang lalu. Posisinya yang ganjil justru menjadi daya tarik setiap orang yang datang ke kota Pisa. Jarak kota Roma dan Pisa bisa ditempuh dengan 5 jam naik kereta api kelas ekonomi.

Di dalam kereta api yang mengantar kami, kami melatih ritus-ritus liturgi untuk Perayaan Ekaristi pada malam Natal dan Hari Natal dalam bahasa Italia. Juga tidak ketinggalan menghafalkan kotbah dan kalimat absolusi untuk Sakramen Pengakuan dosa yang juga dalam bahasa Italia. Maklum karena ini adalah pengalaman pertama bagi para pastor yang baru datang di Italia.

Setelah 5 jam perjalanan, kami akhirnya sampai di stasiun Pisa-Centrale. Dari sana kami sudah ditunggu oleh beberapa pegawai paroki tempat kami akan ditempatkan di dekenat tersebut. Kami disebar di 8 paroki yang jaraknya cukup berdekatan, tetapi ada juga teman kami yang ditempatkan di paroki yang berada jauh di atas bukit, di mana pemandangan putihnya salju sudah menunggu mereka.

Aku dijemput oleh seorang bapak tengah baya, Giovanni namanya. Orang yang ramah dan suka sekali humor. Dia berkata bahwa aku sudah ditunggu makan siang oleh Don Ettore (baca. Romo Ettore) berserta kedua orang tuanya. “Orang tuanya???”, aku bertanya dalam hati.
Paroki tempat ku ditugaskan terletak di sebuah desa kecil di pinggir sungai. Jaraknya 20 menit dari stasiun pusat kota Pisa kalau ditempuh dengan mobil pribadi. Mobil Giovvani berhenti di pinggir jalan yang cukup besar. Kulihat Gereja kecil sederhana yang terletak di pelataran balai kota. Kecil, sederhana namun sangat indah. Suasana pedesaan sangat terasa di paroki ini. Rumah-rumah tertata rapi, kios-kios kecil yang menjual perlengkapan rumah tangga mengisi ruang kosong di pelataran Gereja ini.

Giovvani menuntunku ke dapur pastoran. Di sana tampak seorang perempuan tua yang masih cantik di usianya. Dia menyambutku hangat dengan pelukan dan ciuman. Nampak uap menyembul dari panci panci yang berada di atas kompor. Mmmhhhhh baunya sedap sekali... sontak rasa lapar di perutku kembali minta diisi. Tak lama kemudian, seseorang turun dari lantai dua gedung pastoran, seorang bapak tua, pertama kuberpikir: “oohhh ini yang namanya Don Ettore”. Tetapi perkiraanku salah, ternyata beliau adalah ayah dari Don Ettore. Mereka berdua, pasangan suami istri ini, adalah orangtua Don Ettore yang memang tinggal di pastoran dan bertugas untuk mengatur rumah tangga pastoran dan gereja. Ada kebiasaan di Italia dan Eropa pada umumnya di mana orang tua para pastor kalau masih mampu bekerja, mereka tinggal di pastoran untuk membantu anak mereka mengurus rumah tangga pastoran.

Tidak lama setelah itu kamipun mengisi kursi-kursi di sekeliling meja makan, dan tiba-tiba seorang pria tinggi besar datang, dia mengenakan pakaian jubah hitam, lengkap dengan jas anti dingin yang tebal. Dialah Don Ettore, pastor paroki yang baru saja pulang dari pemakaman. Orangnya ramah dan tampak hawa suci mengalir dari senyumnya yang ramah dan riang. Kami pun makan bersama... mmmm makanan terenak yang pernah kumakan di Italia berupa spaggheti asli bikinan orang italia asli. (di asramaku, meski setiap hari makan makanan Italia tetapi yang memasak adalah para suster dari India).

Ini adalah Natal pertamaku di Italy, Natal pertama jauh dari keluarga, teman-teman dan orang-orang yang aku kenal. Hari-hari kulalui dengan duduk menggigil di kamar pengakuan, duduk menunggu umat yang mengaku dosa. Tidak jarang, sambil menunggu, aku membuka-buka buku pelajaranku. Maklum, setelah Natal, masa ujian akan segera datang. Cukup banyak umat yang mengaku dosa di paroki ini. Mula-mula aku mengalami kesulitan menangkap “dialeg” mereka, tapi lama kelamaan aku terbiasa juga. Nasihat pengakuan dosa yang tadinya kaku karena hafalan belaka, mulai mencair seiring bertambahkan “ketrampilan”ku berbahasa Italia. Tidak bisa dipungkiri oleh kami para pastor Indonesia, liburan di paroki selain menambah sedikit uang saku, juga meningkatkan kemampuan berbahasa Italia.

Di siang hari setelah lelah mendengarkan pengakuan, kopi hangat buatan mama don Ettore telah menungguku. Makan siang pun kami lalui bersama, aku merasakan suatu kehangatan keluarga di paroki ini. Mama dan papa Don Ettore tidak henti-hentinya menceritakan bagaimana bangganya mereka ketika anak mereka ditahbiskan menjadi seorang imam. Mata mereka juga menjadi nanar ketika menceritakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialami oleh putra mereka selama menjalani tugasnya sebagai imam. Oh... orang tua yang sungguh mulia... pikirku.

Malam Natal pun tiba, banyak sekali umat yang datang ke gereja, bangku gereja sampai tidak mampu menampung mereka. Selama misa malam Natal, aku pun masih duduk mendengarkan pengakuan dosa, bahkan sampai sebelum komuni kudus, karena umat di sini banyak yang beranggapan, lebih baik mengaku dosa menjelang lagu Anak Domba Allah dikumandangankan, supaya mereka menerima Tubuh Tuhan dengan hati yang sungguh bersih.

Di malam Natal yang dingin, ketika umat sudah mulai kembali ke keluarga mereka masing-masing untuk merayakan lahirnya Sang Juru Selamat, aku duduk sendiri di dalam Gereja yang kembali menjadi sunyi. Kuhayati hadirNya Sang Penebusku di dalam hidupku. Kubuka pintu Gereja, lalu kuberanikan kakiku melangkah di jalan yang dingin sekali. Angin dinginpun menggelitik tubuhku sampai menggigil. Kuberjalan sendiri, sepi dan sunyi. Kulalui rumah-rumah umat, kulewati perkarangan rumah mereka. Dari luar jendela yang masih bernyala, kudengar gelak tawa mereka sambil makan bersama. Kakek, nenek, papa, mama, anak-anak serta cucu-cucu berkumpul bersama, sungguh indah kebersamaan di malam Natal yang kudus. Kuingat bahwa Allah Putra pun hadir di dunia di tengah hangatnya keluarga kudus Nasaret di tengah malam yang dingin, sunyi dan sepi. Kusenandungkan lagu Malam Kudus di dalam hatiku untuk mengiringi langkahku... tak terasa air mataku menetes di pipiku yang membeku.... aku ingat keluargaku di Indonesia juga teman-temanku. Mendadak aku jadi kangen mereka. Memang keindahan sebuah keluarga baru terasa ketika kita jauh dari mereka.

Setelah hampir 1 jam aku berkeliling di jalan sepi nan sunyi, aku kembali ke pastotran. Ternyata sejak tadi aku sudah ditunggu oleh Don Ettore dan kedua orang tuanya. Kamipun berkumpul bersama di ruang makan, sambil menyantap sup hangat yang sungguh lezat. Mama Don Ettore tiba tiba mengeluarkan suatu bungkusan, ohh ternyata .... kado natal special untukku. Malam Natal kami lewati bersama dalam kebersamaan keluarga yang sungguh hangat dan berkesan. Terima kasih Tuhan, meski keluarga serta sahabat-sahabatku jauh, malam ini aku masih boleh merasakan sedikit kebersamaan di tengah keluarga seperti ini. Terima kasih ya Yesusku, Engkau hadir secara baru dalam hidupku. Tepat pukul 12 malam, lonceng gereja berbunyi meriah, sayup sayup keceriaan dan kebahagiaan Hari Natal berkumandang di hati setiap orang yang sungguh mendamba hadirnya SANG JURU SELAMAT DUNIA, YESUS KRISTUS TUHAN KITA. SANG EMANUEL, TUHAN BESERTA KITA SELAMANYA.

(Kisah ini adalah pengalaman NATAL ku tahun lalu di Italy, semoga berkenan)

No comments:

Post a Comment