Monday, July 11, 2011

Imam Yang Banyak Uang

Ketika Paolo Berkisah : Imam Yang Banyak Uang.

Selama tinggal di Jerman, untuk menghemat pengeluaran, aku menempati satu kamar untuk dua orang, kebetulan aku mendapat teman sekamar dengan seorang pastor muda dari Vietnam. Paolo namanya, orangnya jenaka dan smart kelihatannya. Saat ini dia menempuh program S3 di bidang Hukum Gereja.

Meski umurnya 3 tahun lebih tua dari aku, tetapi dia lebih pendek sedikit dari aku. Entah kesamaan fisik atau apa (sama-sama suka usil heheh), dari hari ke hari kami merasa cocok dalam pertemanan.

Satu yang kukagumi dari Paolo adalah hidup doanya. Dari bagun pagi pagi sampai larut malam dia selalu mendoakan Ibadat Harian 5 kali ditambah 2 kali doa Rosario, aku perhatikan sehari pun tidak pernah bolong. Pernah suatu hari dia dengan terang-terangan menegurku, “Kamu kok hari ini doanya bolong dua kali, kamu itu imam atau preman?” (aku bilang, kata-katanya lucu tapi dalem....). Dari Paolo aku banyak belajar tentang kedisiplinan doa tingkat tinggi di tengah sibuknya belajar.

Suatu kali kami ngobrol-ngobrol di sore hari yang panas di pinggir jendela kamar, karena esok hari libur. Kami bercerita tentang latar belakang kami masing masing mulai dari hal-hal kecil sampai kebijakan-kebijakan keuskupan kami masing-masing. Paolo sangat senang ketika kuperlihatkan foto adikku yang perempuan di Facebok, dia bilang, adikmu cantik sekali..... makanya sejak saat itu dia memanggilku kakak ipar (memang kurang asem, teman baruku ini iseng sekal).

Paolo pun bercerita tentang suka dukanya 5 tahun belajar di kota suci, jauh dari rumah dan keluarganya. Dia bercerita bagaimana teman-teman pastor di keuskupannya menganggap dia “Imam yang Banyak uang”. Karena kami, para imam yang mendapat beasiswa dari Kepausan memang menerima uang saku 1000 euro untuk satu tahun. Jumlah itu memang besar sekali “kelihatannya”, apalagi kalau dikurs dengan mata uang Vietnam. (bisa sebanyak 2 tas besar pecahan uang kertas katanya).

Cap “Romo Kaya” itu melekat sedemikian rupa pada dirinya, apalagi kalau teman-temannya membayangkan indahnya kota-kota Eropa dengan berbagai fasilitasnya. Selama 5 tahun Paolo hanya diam saja diberi cap demikian, meski pada prakteknya, dia memerlukan perhitungan sangat-sangat KERAS untuk mengelola uang sakunya tersebut supaya bisa terus tersedia sampai akhir tahun untuk berbagai macam kebutuhannya yang jauh melebihi jumlah tersebut. Tetapi hebatnya, meski selalu besar pasak dari tiang, Paolo tidak pernah merasa kekurangan.

Sampai pada akhirnya, ketika penutupan tahun imam bulan lalu, 7 orang imam dari keuskupannya datang ke Roma untuk menghadiri Misa Penutupan Tahun Imam dengan Bapa Suci. Paolo menjemput mereka di stasiun pusat lalu bersama mereka menaiki bus umum yang harganya 1 euro untuk satu orang hanya untuk 75 menit.

Di sambung lagi dengan berjalan kaki sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer, dan sampai di Hotel dengan harga standard tanpa AC. Saat itu kota Roma sedang panas-panasnya. Selama teman-teman imamnya di Roma, Paolo juga mengajak mereka mengelilingi kota Roma yang indah, lagi-lagi dengan naik bis umum seperlunya dan selebihnya berjalan kaki.

Di hari kedua para imam teman-teman Paolo mulai berkeluh kesah letih dan lelah. Padahal rute perjalanan yang mereka tempuh itu adalah rute Paolo setiap hari dari asrama ke kampus. Mereka mulai merasa terbakar tinggal di hotel tanpa AC meski harganya lumayan mahal. Ketika makan siang dan makan malam, Paolo mengajak mereka ke tukang Pizza pinggir jalan yang menjual sepotong Pizza seharga 4 euro per orang dan air mineral 3 euro per botol.

Apa yang mereka lakukan di hari terakhir kunjungan mereka ke Roma? Sangat mengejutkan. Satu per satu mereka minta maaf kepada temanku yang kecil ini, atas julukan yang sudah melekat kepadanya selama bertahun-tahun. Dan mereka berkata, kalau suatu saat Paus mengundang mereka ke Roma lagi, mereka akan berpikir 1000 kali untuk datang. Kota Roma memang bagus, tetapi bagus hanya untuk 2 atau 3 hari.
Mendengar teman baruku ini berkisah, aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, sambil berpikir dalam hati : Puji Tuhan, karena sebagai seorang imam projo yang harus mandiri selama hidup di negeri orang, nasibku jauh lebih baik dari teman kecilku ini, paling tidak aku tidak punya teman-teman yang punya pemikiran seperti teman-teman Paolo.

Memang aku pun sama seperti Paolo, selalu berpikir keras untuk mengatur pengeluaranku itu (atau memang pada dasarnya aku pelit heheehe), tetapi selama 2 tahun ini aku merasa Tuhan selalu memeliharaku hingga aku tidak berkekurangan sesuatupun.

Aku punya Bapak uskup yang baik yang selalu membantuku menutup biaya tambahan untuk memperdalam materi kuliahku atau untuk suatu keperluan yang penting dan mendesak, sementara Paolo harus menanggung semuanya sendiri. Pertolongan Tuhan untukku juga selalu datang di saat yang tepat, entah ada saja tangan-tangan malaikat kecil yang menolongku di kala aku sedang berpikir 10 kali untuk membeli sebuah buku pelajaran untuk ujian yang harganya 150 euro. Pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat, itu prinsipku.
Di akhir percakapan aku bicara kepada Paolo temanku ini, Paolo kita beruntung ya jadi imam, hidup dan kebahagiaan kita tidak bergantung pada uang, tetapi pada bagiamana kita mengisi hidup imamat kita sendiri. Punya uang bahagia, ngak punya uang juga tetap bahagia. Semua sudah Tuhan jamin buat hidup kita. Karena Dia terlalu baik buat kita imamNya. Kalau kita mau menyerahkan seluruh kekhawatiran kita, Tuhan pasti selalu datang menolong pada saat yang tepat dengan cara-caraNya yang ajaib dan pertolonganNya tidak melulu soal uang (misalnya tiba-tiba ada teman yang memberi buku yang tidak mampu kita beli). Jarang loh ada hidup yang seperti ini....

Kata-kata terakhirku itu juga diamini oleh teman kecilku ini. Sekali lagi terima kasih Tuhan untuk segala pertolonganMu pada kami imam-imam kecilmu ini.
Membaca dan mendengar kisahku dan Paolo ini, masih adakah teman-teman yang khawatir untuk menjadi seorang imam?

No comments:

Post a Comment